Wewenang Hakim Pemeriksa Pendahuluan Dinilai Terlalu Besar

Written By Luthfie fadhillah on Rabu, 20 Maret 2013 | 21.01


JAKARTA, KOMPAS.com- Salah satu perubahan krusial dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah terkait pembentukan lembaga baru yaitu Hakim Pemeriksa Pendahuluan (HPP) atau sebelumnya sering disebut Hakim Komisaris.


Para pihak yang berkepentingan, seperti Polri, dan juga beberapa ahli hukum, ternyata tak sependapat dengan kewenangan HPP.


Hakim pemeriksa pendahuluan akan memiliki kewenangan diantaranya menguji sah tidaknya penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyadapan, sah atau tidaknya penghentikan penyidikan dan penghentian penuntutan, sah tidaknya perolehan alat bukti, ganti rugi karena salah penangkapan, penahanan, penyitaan, untuk pemohon, layak tidaknya penanganan perkara oleh penyidik, layak tidaknya perkara yang telah dilakukan gelar perkara.


Guru Besar Ilmu Hukum Pidana Universitas Trisakti yang juga Ketua Tim Perumus RUU KUHAP, Prof Andi Hamzah, mengatakan pada prinsipnya hakim pemeriksa pendahuluan ini sama dengan hakim praperadilan sekarang.


Wewenang ditambah dengan perpanjangan penahanan, izin penggeledahan, penyitaan, izin penyadapan.


"Hal ini bertujuan mengurangi beban hakim pengadilan negeri, sehingga bisa konsentrasi pada persidangan perkara perdata, pidana, dan seterusnya," kata Andi. Seseorang yang tak terima atas penangkapannya, misalnya, bisa mengadukan hal tersebut ke HPP.


Paparan tersebut disampaikan Andi dalam Simposium Nasional Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia, di Makassar. Simposium berlangsung dari Senin (18/3) hingga Rabu (20/3/2013).


RUU KUHAP memang memiliki semangat untuk memperketat penahanan. Menurut Andi, karena Indonesia sudah meratifikasi Interational Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), maka penahanan yang diperketat dalam ICCPR itu harus diimplementasilkan ke dalam KUHAP.


Pasal 9 ICCPR mewajibkan apabila seseorang ditangkap harus segera dibawa secara fisik ke hakim untuk ditahan. "Jadi, pada prinsipnya hakimlah yang menahan orang karena bersifat merampas kemerdekaan," papar Andi.


Dalam Rancangan KUHAP, apabila seseorang ditangkap karena diduga keras telah melakukan delik, maka penyidik hanya boleh menahan selama lima hari yang dapat diperpanjang penuntut umum selama lima hari berikutnya.


"Sesudah itu harus tersangka dibawa secara fisik ke hakim pemeriksa pendahuluan untuk dilakukan penahanan," kata Andi.


Gubernur Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), Irjend Pol Prof Iza Fadri, menyatakan keberatannya terhadap HPP ini. HPP yang memiliki banyak kewenangan justru diragukan efektivitasnya.


Wewenang yang begitu besar dikhawatirkan berpotensi menimbulkan masalah dan penyimpangan. Soalnya, putusan hakim pemeriksa pendahuluan tidak dapat diajukan upaya hukum banding atau kasasi, sementara pada putusan hakim praperadilan dimungkinkan adanya banding atau kasasi.


"Putusan hakim pemeriksa pendahuluan ini bersifat final dan mengikat, sementara putusan hakim praperadilan itu masih dapat diuji. Tak ada evaluasi terhadap hasil keputusan, membuatnya cenderung bahaya," kata Iza.


Menanggapi kewenanan yang tinggi tersebut, Polri meragukan efektivitas konsep hakim pemeriksa pendahuluan.


Belum lagi biaya membangun sistem dan struktur baru yang pasti mahal. "Kemudian kita juga membutuhkan hakim pemeriksa pendahuluan setingkat Ketua Pengadilan Negeri sebanyak 1.000 orang dari golongan III C, itu pasti sulit," kata Iza.


Luasnya wilayah Indonesia dinilai akan menyulitkan pelaksanaan teknis dan manajemen peradilan akan sulit terlaksana. Bagi Polri, lembaga praperadilan saat ini dirasakan masih efektif, hanya perlu dilakukan perluasan kewenangan.


Polri dan Kejaksaan juga bisa meningkatkan mekanisme pengawasan internal dan jika berhasil maka hakim pemeriksa pendahuluan tak diperlukan lagi.


"Daripada membuat hakim pemeriksa pendahuuan, akan lebih efektif jika menerapkan perluasan kewenangan lembaga praperadilan yang telah ada," kata Iza. Di negara asalnya, yaitu Belanda, hakim komisaris ini dianggap tidak efektif dan ditinggalkan.


Dihubungi terpisah, Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Prof Eddy OS Hiariej mengatakan, pembahasan RUU KUHAP harus dikawal dan harus menjadi perhatian masyarakat.


Soal HPP, Eddy juga menyatakan ketidaksetujuannya karena kewenangannya yang begitu luas.


"Saya tidak setuju adanya lembaga baru yaitu hakim pemeriksa pendahuluan. Kinerja aparat hukum akan terhambat dengan lembaga baru ini karena sedikit-sedikit tindakah hukum akan digugat," katanya.


Bisa dibayangkan, misalnya jika tersangka keberatan dengan penyitaan aset, atau keberatan dengan teknik penyadapan, dengan mudah dia bisa protes dan menggugat ke hakim pemeriksa pendahuluan.


"Saya lebih setuju jika wewenang praperadilan itu diperluas, jadi tak perlu membuat lembaga baru yang akan merepotkan nantinya," kata Eddy. 







Editor :


Tjahja Gunawan Diredja









Anda sedang membaca artikel tentang

Wewenang Hakim Pemeriksa Pendahuluan Dinilai Terlalu Besar

Dengan url

http://automotivecyberspaces.blogspot.com/2013/03/wewenang-hakim-pemeriksa-pendahuluan.html

Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya

Wewenang Hakim Pemeriksa Pendahuluan Dinilai Terlalu Besar

namun jangan lupa untuk meletakkan link

Wewenang Hakim Pemeriksa Pendahuluan Dinilai Terlalu Besar

sebagai sumbernya

0 komentar:

Posting Komentar

techieblogger.com Techie Blogger Techie Blogger